Hukum merayakan maulid nabi
Fakta
yang sesungguhnya dari kehidupan Rasulullahi shalallahu ‘alaihi
wasallam menegaskan bahwa tidak ada riwayat yang menyebutkan beliau pada
tiap ulang tahun kelahirannya melakukan ritual tertentu. Bahkan para
shahabat beliau pun tidak pernah kita baca dalam sejarah pernah
mengadakan ihtifal (seremoni) secara khusus setiap tahun untuk
mewujudkan kegembiraan karena memperingati kelahiran Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam.
Bahkan upacara secara khusus untuk merayakan
ritual Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam juga tidak pernah kita
dari generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya. Perayaan
seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak pernah
dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullahi shalallahu
‘alaihi wasallam, para shahabat bahkan para ulama salaf di masa
selanjutnya.
Perayaan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
secara khusus baru dilakukan di kemudian hari. Dan ada banyak versi
tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa konon
Shalahuddin Al Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi atas
perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat Islam
dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang majemuk
dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain
menyatakan bahwa perayaan maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah
Fathimiyah di Mesir pada akhir abad keempat Hijriyah. Hal itu seperti
yang ditulis pada kitab Al A’yad wa Atsaruha alal Muslimin oleh Dr.
Sulaiman bin Salim As Suhaimi hal. 285-287. Disebutkan bahwa para
khalifah Bani Fathimiyah mengadakan perayaan-perayaan setiap tahunnya,
di antaranya adalah perayaan Tahun baru, asyura, Maulid Nabi bahwa
termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein, serta
maulid Fatimah, dan lain-lain (Al Khuthath 1/490).
Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
1. Mereka berargumentasi dengan apa yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di
dalam kitab beliau, Hawi li al-Fatawa Syaikhul Islam tentang maulid
serta Ibn Hajar Al-Asqalani ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut
kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau telah memberi jawaban
secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid merupakan
bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para salafush-shaleh pada 300
tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan itu penuh dengan kebaikan
dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak jarang dicacat oleh
perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid
itu terpelihara dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka
tergolong dalam perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan
tersebut terselip perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tidak
tergolong di dalam bida’ah hasanah.
2. Selain pendapat di atas,
mereka juga berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa
siksaan Abu Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu
karena Abu Lahab ikut bergembira ketika mendengar kelahiran
keponakannya, Nabi Muhammad SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau
mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan ekspresi kegembiraannya
diimplementasikan dengan cara membebaskan budaknya, Tsuwaibah, yang saat
itu memberi kabar kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan
Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi jilid
1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad Dimasyqi
menulis dalam kitabnya Mawrid as Sadi fi Mawlid al Hadi : “Jika seorang
kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan kekal di dalamnya”
(surat Al Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya tiap Senin, apalagi
dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira dan bersyukur
dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut “Ahad”?
3.
Hujjah lainnya yang juga diajukan oleh para pendukung Maulid Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam adalah apa yang mereka katakan sebagai
pujian dari Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu
Hajar telah menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn
al-Mi’at al-thamina‘ bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang
bertajuk Maulid Nabi di penghujung hidupnya, “Malam kelahiran NabiSAW
merupakan malam yang mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang
suci, malam yang menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang
bercahaya-cahaya, terang benderang dan bersinar-sinar dan malam yang
tidak ternilai.”
4. Para pendukung Maulid Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam juga melandaskan pendapat mereka di atas hadits bahwa
motivasi Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa hari Senin
karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu merupakan
hari dinaikkannya laporan amal manusia.
Abu Qatadah Al Anshari
meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya
mengapa beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, “Itulah hari aku
dilahirkan dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul.”
Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab As Shiyam (puasa).
Pendapat yang Menentang
Namun argumentasi ini dianggap belum bisa dijadikan landasan dasar
pensyariatan seremoni Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Misalnya cerita tentang diringankannya siksa Abu Lahab itu, mereka
mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan siksanya itu pun hanya
sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran. Dia tidak setiap tahun
merayakan kelahiran nabi dengan berbagai ragam seremoni. Kalau pun
kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan siksanya di neraka tiap
hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun merayakan lahirnya Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam akan mendapatkan keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari Ibnu Katsir, sama sekali tidak bisa
dijadiakan landasan perintah untuk melakukan sermonial khusus di hari
itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji malam hari di mana Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam lahir, namun tidak sampai memerintahkan penyelenggaraan
seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa Rasulullahi
shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di hari Senin, karena hari itu
merupakan hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai, karena yang
saat dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai macam aktifitas
setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’ pada hadits itu, seharusnya
umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan menyelenggarakan
seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang
perayaan Maulid Nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama
sebelum Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya
punya kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu
haram hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi
Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkannya
atau mencontohkannya.
Dahulu para penguasa Mesir dan
orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu
perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara
perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari
kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur
serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat
makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid mengatakan bahwa semua bentuk
perayaan Maulid Nabi yang ada sekarang ini adalah bid’ah yang sesat.
Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam untuk menyelenggarakannya atau
ikut mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak
rela begitu saja dituduh sebagai pelaku bid’ah. Sebab dalam pandanga
mereka, yang namanya bid’ah itu hanya terbatas pada ibadah mahdhah
(formal) saja, bukan dalam masalah sosial kemasyarakatan atau masalah
muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh para pendukungnya
diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak bisa diukur
dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang menulis buku
tentang kisah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Padahal di masa
Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada perintah atau anjuran
untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa salah
berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang kehidupan
beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam memiliki koleksi
buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan sebaga bid’ah? Tentu
tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan bagian dari ritual ibadah.
Dankeberadaan buku-buku itu justru akan membuat umat Islam semakin
mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya umat Islam lebih banyak lagi
menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir
pendukung maulid, kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi
seperti buku. Bedanya, sejarah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak
ditulis, melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam
bentuk seni syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi
otak, tetapi juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena kisah nabi
disampaikan dalam bentuk syair yang indah.
Dan semua itu bukan
termasuk wilayah ibadah formal (mahdhah) melainkan bidang muamalah. Di
mana hukum yang berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila
ada dalil yang secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari umat Islam, barangkali kita ada di salah satu pihak
dari dua pendapat yang berbeda. Kalau pun kita mendukung salah satunya,
tentu saja bukan pada tempatnya untuk menjadikan perbedaan pandangan
ini sebagai bahan baku saling menjelekkan, saling tuding, saling caci
dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum
merayakan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, suka atau tidak suka,
memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita sudah
berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya lagi
buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih saja
meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini, sebagai umat Islam, kita justru sedang
berada di depat mulut harimau sekaligus buaya. Kita sedang menjadi
sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai. Bukanlah waktu yang tepat
bila kita saling bertarung dengan sesamasaudara kitasendiri, hanya
lantaran masalah ini.
Sebaliknya, kita justru harus saling
membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing.
Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya.
Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka para pemangsa itu akan
semakin gembira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar